Hampir semua suami pasti pernah merasakan hal ini (kecuali bagi
yang ibunya sudah meninggal dunia), terutama pada saat-saat awal
pernikahan. Di satu sisi, ibu adalah seorang yang melahirkan, merawat,
mendidik dan membesarkan sedangkan di sisi yang lain, istri adalah
teman dalam menghabiskan sisa hidup serta ibu dari anak-anaknya. Si
Ibu, sudah pasti akan sangat merasakan kehilangan anaknya, yang selama
ini telah dirawatnya, dididiknya, disayangi sepenuh hati ke tangan orang
lain. Sedangkan untuk si Istri, pastinya dia merasa bahwa sejak
dilakukannya ijab qabul (atau pemberkatan/peresmian nikah bagi yang non
muslim), si Suami telah menjadi miliknya, dan hanya dialah yang berhak
memberikan perhatian lebih kepada pasangannya.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan masing-masing untuk mengurangi friksi-friksi yang pasti akan terjadi?
Untuk para suami, hal ini bisa menjadi dilema yang serba sulit.
Apalagi jika sebelumnya dia sangat dekat dengan ibunya. Bahkan pilihan
untuk tinggal di mana setelah menikah juga merupakan hal yang sulit,
karena si Ibu pasti ingin anaknya tetap tinggal bersamanya meskipun
telah menikah, sedangkan bagi si Istri tentu saja akan lebih nyaman dan
senang jika bisa tinggal terpisah dari mertuanya. Jika tidak
memungkinkan untuk tinggal di rumah sendiri, maka tinggal dengan orang
tua sendiri akan lebih nyaman dari pada tinggal dengan mertua bagi si
Istri. Tentu saja tinggal terpisah dari kedua orang tua dari kedua
belah pihak adalah pilihan yang terbaik di antara semua pilihan, tetapi
tidak semua orang bisa menyewa atau membeli rumah sebelum menikah kan?
Satu hal yang harus diingat oleh suami adalah jangan pernah
membanding-bandingkan si Istri dengan Ibunya. Istri manapun tidak akan
pernah suka dibanding-bandingkan seperti itu. Juga sebisa mungkin
jangan terlalu memuji Ibunya secara berlebihan di depan si Istri.
Ajarkan istri untuk selalu hormat dan patuh kepada orang tua, baik
kepada bapak ibunya sendiri maupun kepada bapak dan ibu suami. Berikan
contoh yang baik kepada si Istri. Dengan menghormati dan mematuhi orang
tua istri, otomatis (jika si Istri memang tahu diri J) si Istri juga
akan menghormati dan mematuhi orang tua suami. Perlu diingat, bahwa
beda pendapat adalah hal yang paling alami, tetapi meskipun kita beda
pendapat cara penyampaiannya tetap harus dengan rasa hormat dan sayang.
Untuk para Ibu yang anaknya telah menikah, perlu diingat bahwa anak
yang telah menikah seharusnya sudah terlepas dari tanggung jawab kita.
Sebagai orang tua, kita memang tetap wajib untuk mengarahkan dan
memberikan nasehat yang baik untuk anak kita, tetapi cukup dalam bentuk
masukan dan saran, sedangkan keputusan tetaplah di tangan anak. Bagi
orang tua yang tinggal dengan menantunya, sebisa mungkin jangan
mencampuri urusan anak, baik dalam hal mengatur rumah, masakan, merawat
anak apalagi dalam mengatur keuangan rumah tangga. Dari pengalaman,
jika orang tua terlalu mencampuri urusan anak yang sudah menikah, sering
berakibat rusaknya rumah tangga si anak. Jauhkan diri juga dari sifat
pamrih, karena merasa telah membesarkan dan merawat serta mendidik anak
hingga dewasa, maka si anak wajib memberikan balas jasa kepada mereka.
Merawat dan membesarkan anak sebagai titipan Tuhan adalah sudah menjadi
kewajiban orang tua, bukan sesuatu yang bisa dimintakan balas jasa.
Satu lagi yang perlu diingat si Ibu (ataupun si Bapak) bahwa menikahnya
anak bukan berarti mereka kehilangan anak, malah sebaliknya anak mereka
bertambah dengan anak menantu.
Buat si Istri, menikahi suami berarti juga harus mau menikahi apa
yang dipunyai suami, termasuk orang tua dan keluarganya. Bahkan dalam
Islam, seorang anak yang sudah menikah, jika dia laki-laki adalah milik
Ibunya, sedangkan jika dia perempuan adalah milik suaminya. Meskipun
hal ini juga tidak bisa diambil secara semena-mena bahwa istri adalah
milik suaminya dan suaminya berhak melakukan apapun terhadap istrinya
seperti kata si Ahmad Dhani (Aw, that’s a NO NO, Dear!!!).
Seandainya baik si Ibu maupun si Istri membutuhkan barang yang sama pada
saat yang bersamaan, dan jika si Suami hanya mampu untuk mendapatkan
satu barang saja, maka yang lebih berhak memilikinya adalah si Ibu.
Anggaplah orang tua suami seperti orang tua sendiri (memang tidak akan
semudah mengucapkannya). Tapi perlahan-lahan pasti hal ini bisa
tercapai. Malah di beberapa kasus, istri lebih cocok dengan ibu suami
daripada dengan ibu sendiri karena beberapa anak perempuan memang kurang
cocok dengan ibunya. Tentu saja hal ini juga bukan contoh yang baik.
Yang terbaik adalah bisa bersahabat dengan ibu sendiri maupun ibu
mertua.
Satu tips lagi bagi newly-married couple, jika ada sesuatu
yang dianggap tidak baik dari pasangan, janganlah mengadu kepada orang
tua sendiri, tetapi kepada orang tua pasangan kita. Hal ini untuk
menghindari campur tangan orang tua seperti yang telah dibahas di atas.
Sudah pasti orang tua akan membela anak kandungnya. Dengan mengadukan
pasangan ke orang tuanya diharapkan mereka bisa menasehati si anak untuk
menjadi lebih baik. Tentu saja, sekali lagi, mengadukan di sini dengan
sewajarnya, tetap sopan dan hormat, tanpa bermaksud untuk
menjelek-jelekkan dan dengan niat tulus untuk kebaikan si pasangan.
Semua hal di atas akan dapat tercapai jika didukung oleh sikap ikhlas
dalam melakukan segala hal, jauhkan diri dari sikap iri, dengki, pamer,
sombong, arogan, serta bekali diri dengan iman dan takwa. Goodluck to ALL THE NEWLY-WED COUPLES!!